Kesehatan merupakan kebutuhan utama manusia. Tak heran, segala upaya sering dilakukan seorang manusia untuk mendapatkan pengobatan maksimal bagi kesehatannya atau anggota keluarganya yang sedang sakit. Bahkan, mereka tak ragu merogoh kantong dalam-dalam demi upaya tersebut.
Demi menyelamatkan nyawa orang yang dikasihi, dengan waktu yang terdesak, sebagian orang mengirim anggota keluarga ke rumah sakit yang mampu memberikan pengobatan maksimal. Lantaran harus mengejar waktu, mereka menyewa pesawat khusus yang memberikan fasilitas pengiriman pasien. Layanan ini sering disebut sebagai ambulans udara.
nilah peluang yang diterjuni Boedi Krisnawan, Direktur Elang Lintas Indonesia (ELI). Sejak tahun lalu, pria kelahiran Rembang ini merintis bisnis evakuasi udara dengan menggunakan pesawat jet.
Awalnya, dia hanya mengoperasikan satu pesawat Beech Jet 400A. Kemudian, dia menambahkan dua armada lagi: Beech Jet 400A dan Hawker 800. Dengan pesawat terakhir, kata Boedi, penerbangan bisa lebih cepat, karena pesawat ini tak perlu sering mengisi bahan bakar.
Semua pesawat itu dilengkapi dengan stretcher spectrum atau tempat tidur pasien yang memang didesain khusus untuk pesawat Beech Jet 400A. Pesawat itu juga dilengkapi peralatan pernafasan yang terpasang dengan rel yang mudah keluar masuk tanpa perlu dibongkar agar si pasien nyaman.
Peluang bisnis medical evacuation (medevac/medivac) masih terbuka cukup lebar di Indonesia. Medivac adalah sebuah kerja penyelamatan berupa evakuasi untuk korban kecelakaan atau sakit dengan kondisi kritis ke tempat yang dituju. Evakuasi udara lengkap dengan peralatan medis pun menjadi jalan cepat untuk tindakan penyelamatan tersebut.
Dalam sebulan, ELI bisa melayani antara tujuh hingga delapan pasien yang butuh evakuasi. Boedi menuturkan, kebanyakan permintaan evakuasi berasal dari daerah di kawasan timur Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Yang menjadi tujuan evakuasi dari pasien di kawasan ini adalah rumahsakit-rumahsakit yang berada di Denpasar, Surabaya, dan Jakarta.
Sedang pasien yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur biasanya menuju rumah sakit di Jakarta atau di Singapura. Selain ke rumah-rumah sakit di kota-kota itu, ELI juga melayani penerbangan tujuan Singapura dan Malaysia.
Berkaitan dengan bisnis ini, ELI sudah mendapatkan izin mendarat dan terbang dari otoritas penerbangan di Singapura sebanyak delapan kali per bulan. “Jika permintaan melebihi jumlah itu, kami harus mengajukan izin kembali ke mereka,” jelas Boedi.
Banderol biaya untuk evakuasi udara ini dipatok per jam. Besarnya US$ 35.000 per jam terbang. Perhitungan biaya dimulai ketika pesawat terbang dari pangkalan Halim Perdanakusumah, yang menjadi pangkalan induk pesawat-pesawat milik ELI, menuju ke bandara penjemputan pasien. Lalu, penerbangan menuju bandara tujuan dan penerbangan pesawat kembali ke pangkalannya.
Jadi, misalnya, ketika ada pasien yang harus dijemput di Sentani, Irian Jaya, dengan tujuan rumahsakit di Denpasar, Bali, banderol harga yang ditetapkan adalah penerbangan Halim menuju Sentani. Lalu, ditambah Sentani menuju Denpasar, dan dilanjutkan Denpasar ke Jakarta.
Untuk meringankan biaya evakuasi ini, Boedi berniat mengembangkan pangkalan sendiri di kawasan Indonesia Timur, seperti Denpasar, Maluku maupun NTT. “Dengan biaya yang lebih ringan, kami ingin lebih banyak pasien yang bisa dievakuasi,” tutur Boedi.
Prospek bisnis ambulans udara ini cukup baik lantaran jumlah rumahsakit di daerah masih terbatas. Apalagi, rumah sakit yang punya fasilitas dan pelayanan lengkap. Sementara, peluang untuk menyelamatkan pasien di rumahsakit lain terbuka lebar.
Moral kemanusiaan
Apakah Anda tertarik untuk terjun ke bisnis ini? Boedi bilang, peluang untuk pemain baru masih terbuka lebar. Dengan datangnya pemain baru, bisnis ini pasti juga akan berkembang, karena pasar akan semakin luas. Dengan harga yang makin terjangkau, jika mereka membuka base point di daerah, makin banyak orang bisa menikmati fasilitas ini.
Hanya saja, yang perlu diingat, seperti Boedi bilang, dalam bisnis ini Anda tak bisa semata-mata mengutamakan keuntungan. “Ada kewajiban moral yang harus kita miliki, karena bisnis ini juga berkaitan dengan kemanusiaan. Semangatnya adalah pelayanan untuk menyelamatkan nyawa orang,” ujar Boedi. Tentu saja, tanpa berharap banyak orang mengalami kondisi kritis dalam sakit mereka.
Anda juga harus memahami bahwa order yang datang tidak rutin. Bahkan, boleh dibilang tidak pasti. “Misalnya, hari ini datang dua pesanan, kemarin juga ada dua order. Tapi pernah juga kami tak mendapat satu pun panggilan dalam seminggu,” kisah dia.
Selain itu, pemain harus siap menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi, termasuk situasi yang tak diinginkan karena penerbangan sangat tergantung dari kondisi si pasien. Meski sebelumnya sudah dipastikan kondisi pasien bisa menjalani penerbangan, namun adakalanya kondisi pasien ini tiba-tiba memburuk. “Dalam hal ini, kami juga harus menghormati keluarga pasien jika mereka kemudian memutuskan untuk membatalkan penerbangan,” kata Boedi.
Jika tak ada permintaan yang datang, Boedi pun tetap konsisten untuk tidak menyewakan pesawatnya bagi keperluan di luar evakuasi medis. “Kami konsisten, supaya jika ada evakuasi yang datang sewaktu-waktu, kami siap,” kata dia.
Modal besar
Untuk menerjuni bisnis ini, selain modal yang kuat juga dibutuhkan jaringan dan wawasan yang luas. Boedi yang sama sekali tak mengenal dunia penerbangan, berani terjun ke bisnis ini lantaran punya rekan yang benar-benar menguasai penerbangan. Pengalaman berharga lantaran pernah terkena serangan stroke juga menjadi inspirasi Boedi untuk merintis jasa ambulan udara ini.
Modal yang besar tentu saja diperlukan, karena dalam bisnis ini pemain harus memiliki pesawat. Seperti Boedi yang membeli pesawatnya seharga jutaan hingga belasan juta dollar per pesawat. Tak hanya itu, pemain juga harus menyiapkan modal tambahan untuk pelatihan dan mendapatkan sertifikasi baik untuk pesawat maupun pilot dan teknisi. Pemain juga harus menyiapkan dana untuk mengurus berbagai izin penerbangan, termasuk mendapatkan tempat parkir di sebuah bandara.
Boedi pun memasang target return of investment (ROI) akan tercapai dalam waktu tujuh tahun. Namun dari perputaran uang yang terjadi setiap bulan, kata dia, sudah mampu menutup biaya operasional, termasuk melunasi biaya leasing pesawat.
Dari pendapatan yang diperoleh, dalam perhitungan Boedi, 80% merupakan ongkos operasional, yang terdiri dari biaya menyewa landasan, asuransi, bahan bakar, gaji karyawan dan perawatan. Komposisi bahan bakar hampir 40% dari biaya operasional, sementara perawatan sekitar 20%.
Untuk merintis bisnis ambulan udara ini pula, Boedi butuh waktu sekitar setahun sebagai persiapan. Maklum, selain berbagai perizinan, banyak persiapan yang harus dilakukan. “Aturan di dunia penerbangan sangat ketat,” ujar dia. Perusahaan harus memenuhi segala ketentuan dan persyaratan sebelum mulai beroperasi.
Misalnya saja untuk pilot. Pilot yang direkrut harus memiliki rating tinggi atau dengan kata lain jam terbang lebih dari 5.000 jam. Dalam satu pesawat, juga harus tersedia rata-rata 2,5 pilot. Kebutuhan itu terkait dengan jam kerja pilot. “Dalam sehari, pilot tidak boleh bekerja lebih dari 12 jam. Perinciannya, waktu terbang selama 9 jam dan masa istirahat dalam waktu 8 jam,” ujar dia.
Demi memenuhi ketentuan ini pula, untuk penerbangan yang menempuh durasi panjang, ELI harus mengirimkan pilot pengganti lebih dulu. “Biasanya, mereka berangkat satu hari sebelumnya dengan penerbangan komersial,” kata Boedi.
Menemukan pilot untuk jasa evakuasi medis ini juga menjadi seni tersendiri bagi para pemainnya. Menurut Boedi, selain memiliki jam terbang tinggi, pilot harus mempunyai rasa kemanusiaan tinggi. “Sama dengan kami, pilot juga harus punya misi pelayanan karena ini berkaitan dengan kondisi kritis,” kata Boedi. ELI kini memiliki tujuh pilot untuk menerbangkan ketiga pesawat jetnya.
Para pilot harus sanggup bekerja dalam kondisi apa pun. Bahkan, ketika terjadi kondisi kritis di dalam kabin pesawat, mereka harus bersikap tenang. Asal tahu saja, dalam pesawat ini, tak ada pramugari.
Meskipun demikian, ketika ada panggilan mendadak karena harus terbang sewaktu-waktu. “Pilot juga harus siap tidak pulang ke rumah atau tidur di hotel dekat bandara, karena sewaktu-waktu rencana sangat bisa berubah,” kata Boedi.
Keandalan pilot dalam menerbangkan pesawat turut menjadi perhatian. Karena kondisi pasien, kemiringan saat tinggal landas juga menjadi perhitungan. “Ini penting bagi pilot ketika mereka menyusun rencana terbang dan pengisian bahan bakar,” kata Boedi.
Pemilihan kru terbang dengan jiwa kemanusiaan tinggi juga berlaku bagi teknisi. Bahkan, karena kapasitas penumpang terbatas, seringkali teknisi harus turun tangan membantu tenaga medis atau keluarga saat evakuasi.
Yang tidak boleh terlupa, seperti bisnis penerbangan lainnya, keselamatan merupakan poin utama. Karenanya, secara berkala pesawat harus menjalani pemeriksaan. Begitu pula bagi pilot dan teknisi juga harus menjalani berbagai training seperti yang sudah dijadwalkan.
Bersaing dengan pesawat asing
Jumlah perusahaan yang terjun pada usaha ambulans udara masih bisa dihitung dengan jari tangan. Itupun tidak semua fokus pada jasa penyewaan pesawat untuk mengangkut pasien. Ada beberapa pemain yang juga menyewakan pesawat untuk keperluan lain, misalnya untuk pelesiran.
Meski demikian, bukan berarti persaingan usaha tidak dialami oleh pemainnya. Suherman Sutanto, Company Aviation Safety Officer Elang Lintas Indonesia, mengatakan kendati pemain lokal sedikit, mereka harus bersaing dengan pesawat milik negara lain. “Pasar terbatas karena masyarakat masih mengandalkan pesawat milik asing. Masyarakat belum tahun bahwa di Indonesia sudah ada provider medievac,” ujar dia.
Padahal, menurut peraturan, pesawat luar negeri yang tidak berjadwal tak diperkenankan mengambil penumpang dari dalam negeri. Aturan itu tercantum pada UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 94 ayat 1 UU tersebut menyatakan bahwa perusahaan angkutan udara niaga tak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia, dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri diturunkan pada penerbangan sebelumnya (inbound traffic).
Menurut Suherman, jika aturan itu benar-benar diterapkan, maka pasar untuk usaha ini akan terbuka lebar. Lantaran selama ini, keberadaan provider ambulans udara milik luar negeri menjadi penghambat berkembangnya usaha ini di Indonesia.
“Kalau pasien di Indonesia menggunakan provider dalam negeri, tentu kru yang dilibatkan orang Indonesia, bukan orang asing,” tutur dia. Suherman juga bilang, penyedia ambulans udara milik asing menawarkan tarif lebih rendah karena menggunakan pesawat yang belum modern. Padahal, potensi untuk pemain baru masih ada. Akan tetapi, persaingan dengan provider luar negeri masih jadi kendala.
Source : kontan.co.id