Ada dua Industri yang bakal menjadi pemenang selama Pandemi Covid-19 hingga 1- 2 tahun ke depan, yakni Industri Teknologi dan Bidang Medical. Diharapkan agar berbagai sektor atau stake holder yang bergerak di bidang ini mampu melakukan kombinasi antara Rumah Sakit dengan Industri perawatan kesehatan serta Health Care Tourism.
“Saat ini Singapore Industri Medicalnya jeblok, Industri Medical Malaysia juga sedang memberikan diskon gede gedean artinya selama pandemi ini berbagai sektor termasuk sektor Industri kesehatan juga terimbas,” ujar Dr. Ivan Rizal Sini, MD, FRANZCOG, GDRM, MMIS SpOG (Chairman of Bunda Hospital Group & Founder of Indonesia Medical Tourism Board IMTB) dalam Talkshow Forum Kesehatan Nusantara 2020 dengan topik Menelaah dan Menata Ulang Ketahanan Kesehatan Indonesia, Jumat, 4 Desember 2020.
Acara yang digagas oleh NU Circle & NUCareer berkolaborasi dg Perhimpunan Dokter NU, Asosiasi Rumah Sakit Islam NU dan Asosiasi Perguruan Tinggi Kesehatan NU mempersembahkan NUCareer Healthcare Talkshow “Forum Kesehatan Nusantara.”
Menurut dr Ivan hal ini sebenarnya sebuah peluang dan memanfaatkan momentum untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia khususnya mengembangkan menjadi Medical Tourism. Stake holder yang harus duduk bersama untuk saling mengerti tentang Medical Tourism ini, kalau boleh samakan persepsi bahwa fasilitas health care yang baik seharusnya disinergikan dengan tourism traveling yang baik.
“Contohnya adalah Korea dengan adanya K-POP, bagaimana di semua sektor Industri di Korea saat ini meledak, ini bukan suatu kebetulan namun direncanakan. Masih ingat dulu beli mobil Hyundai atau mobil Korea yang lain, dulu rasanya kurang pede, namun sekarang bisa dilihat sudah menempati secara khusus di masyarakat,” jelasnya.
Dalam bidang Industri Medical Tourism di Korea, di wilayah Gangnam terdapat pusatnya Plastic Surgery, khususnya vaginal surgery. Dan hal itu diiklankan bahkan di transportasi di Korea. Kini dampaknya dirasakan, di wilayah itu, muncul pasar lokal, semuanya terbentuk. Mengapa demikian, karena ayah, ibu, bahkan saudara pasien akan ikut datang berkunjung sehingga muncul transaksi. dan itu luar biasa. Medical Tourism di Korea pada tahun 2018 terdapat kunjungan mencapai 379.000 pasien dan kebanyakan pasien dari China.
“Dan bidang keilmuan yang banyak adalah Penyakit Dalam,” katanya.
Bagaimana dengan Indonesia. Situasi terkini layanan Kesehayan Indonesia terdapat sekitar 2.925 RS ada di Indonesia namun yang terakreditasi hanya sekitar 2.393 dengan Standar Akreditas KARS. Sedangkan bila ingin menarik pasien dari luar negeri harus terakreditasi Internasional, dimana RS yang terakreditasi internasional hanya sekitar 36 RS dan hanya 1 RS terakreditasi internasional Australia. Sedangkan dana yang keluar sebagai akibat warga Indonesia yang berobat keluar negeri mencapai sekitar Rp 200 T. Artinya sekitar Rp 200 T APBN yang ke LN.
“Kita sibuk bicara subsidi BPJS Triliunan namun sebenarnya ada masalah yang lebih besar yakni dana yang keluar Rp 200 T,” jelasnya.
Saat ini, lanjut dia adalah saat yang tepat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pelayanan RS Indonesia. Dimana masyarakat yang punya duit tidak bisa keluar negeri dan harus berobat di dalam negeri. Dan pemerintah sudah menetapkan Bali yang akan menjadi awal industri wisata dan Medical Tourism. Namun sayangnya di Bali dari 68 RS yang berdiri baru 63 yang sudah terakreditasi.
Potensi dan peluang Indonesia menjadi Medical Tourism sangat terbentang lebar. Pertama dari 260 juta penduduk Indonesia, pada tahun 2006 jumlah penduduk Indonesia yang berobat ke LN sekitar 350 pasien, dan meningkat tajam pada tahun 2015 menjadi 600 ribu pasien atau rata rata sekitar 750 ribu per tahun pendduduk Indonesia ke LN untuk medical Tourism. Dan di prediksi pada tahun 2019, sekitar 900 ribu penduduk Indonesia ke LN untuk Medical Tourism.
“Tujuan berobat di Asia Tenggara tahun 2016-2017 di dominasi 3 negara, yakni Thailand, Singapore, Malaysia. Dan Indonesia menjadi pasien terbesar,” jelasnya.
Keunggulan kedua, yakni jenis pengobatan yang dicari biasanya adalah bedah kosmetik, katerisasi jantung, Brain dan Spine, Onkologi, Kesuburan, gigi, bedah tulang, dan bedah invasive atau bedah Micro. Hal ini sebenarnya tidak sulit dilakukan di Indonesia dan bisa dikerjakan di Indonesia.
Mengapa demikian? umumnya pasien melakukan berobat ke negara lain yang memiliki keahlian khusus dalam menangani penyakit. Banyaknya pasien yang memilih berobat di luar negeri disebabkan oleh kurangnya mutu pelayanan dan pengawasan kesehatan di dalam negeri. Selain itu, ketepatan diagnosis, canggihnya teknologi, serta reputasi rumah sakit menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia untuk berobat ke negara lain.
Keunggulan yang lain adalah potensi alam di Indonesia yang sangat mendukung. Kawasan yang dicari dan dibutuhkan oleh wisatawan atau tourist attraction yakni akomodasi, fasilitas medis, transportasi dan restoran. Hal ini tentunya harus didukung komponen terpenting yakni profesional produk dengan harga bersaing, follow up care, ekstra support untuk pasien, adanya aktifitas support tourism yang mendukung sehingga saling sinergi, serta adanya support dari infrastruktur investasi pemerintah.
Ivan mencontohkan industri medical di Malaysia, tentang kemudahan layanan dan keramahtamahan. contohnya kalau ada orang Indonesia telpon ke Malaysia dalam bahasa Indonesia, dalam 5 menit sudah ada yang menjawab dengan bahasa Indonesia.
“Sedangkan di Indonesia, ditelpon gak jawab, di WA gak jawab. Bagaimana pasien bisa puas dengan pelayanan kita,” tegasnya. Ivan menyarankan bila ingin mewujudkan Indonesia menjadi destinasi medical tourism hal yang dilakukan adalah :
- Komitmen pimpinan tertinggi dan para penentu kebijakan terhadap pengembangan pariwisata kesehatan (tingkat Nasional propinsi kabupaten dan kota)
- Memiliki keunggulan bidang kesehatan di tingkat Internasional (metode, fasilitas, dokter, perawat, obat)
- Memiliki fasilitas dan pelayanan kesehatan berstandar internasional
- Meningkatkan pemahaman insan kesehatan terhadap pariwisata dan insan pariwisata terhadap kesehatan
- Membangun basis data pariwisata kesehatan sebagai input utama dalam perumusan dan penetapan kebijakan pariwisata kesehatan .
- Sinergitas kebijakan dan program lintas sektor, khususnya kesehatan dan kepariwisataan dalam mempercepat terwujudnya Indonesia sebagai destinasi pariwisata kesehatan termasuk pelaksanaan nota kesepahaman bersama.
- Membangun seluruh komponen kepariwisataan untuk mendukung pengembangan indonesia sebagai destinasi pariwisata kesehatan (daya tarik wisata, fasilitas pariwisata, fasilitas umum, prasaran umum, aksesibilitas, masyarakat, industri, pemasaran, SDM, organisasi, regulasi dan mekanisme operasional)
- Integrasi pariwisata medis dan pariwisata kesehatan.
“Perlu ada sinergi di seluruh stakeholder dan seluruh komponen. Medical tourism mendukung industri pariwisata selama masa pandemic dan kita mampu. Bila ini sudah dilakukan maka terakhir adalah melakukan collective branding di berbagai sektor mulai perbankan, kementrian kesehatan, IDI, industri penerbangan, dll,” tegasnya